Oleh
: Eva Emelya Saidah
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh..
Sebuah
pesan dikirim; “Ukhti, ana uhibbuki
fillah…”. Ditempat yang lain tersimpan pula pesan seorang ikhwa kepada
ikhwa yang lain; “ akhi, gimana
kabarnya…? Semoga tetap semangat dalam da’wah.. uhibbukafillah..!”.
Sungguh
terasa bahagia rasanya menerima pesan atau kata-kata ‘mahabbah’ dari seseorang, bahkan kita menyimpannya di draf karena
terukir kata ‘uhibbu..’. Namun
pernahkah kita menengok sejenak sejauh mana kualitas keikhlasan Mahabbah ini.
Sadarkah kita, mungkin ia hanya sebuah
ungkapan terimakasih biasa, sekedar membalas pesan saja, atau hanya buah keisengan
mengutak-ngatik HP, ingin tahu kabar seseorang yang sebenarnya tak begitu penting.
Atau hanya sebuah trend dan tradisi dikalangan anak-anak Rohis dan aktifis
Da’wah..??
Yah,
ironis memang, namun itulah fenomena sebagian dari kita yang mengaku cinta
seseorang karena Allah semata. Kata-kata memang kadang tak selalu sejalan
dengan perbuatan atau amalan sehari-hari. Entah harus berdalih apa namun ada saja
kita dapatkan pengingkaran dari rasa ini ketika ia membutuhkan realisasinya.
Bahkan tak sedikit yang kecewa karena mahabbah
ini ternyata hanya sebuah ungkapan tak
bernilai apa-apa.
Seorang
akhwat harus bersabar saat ia menerima perlakuan dan ketidakperhatian dari
saudarinya saat ia membutuhkan pertolongan pinjaman sedikit uang untuk sebuah
kebutuhan mendadak. Sementara saudarinya mampu menolongnya. Seorang ikhwa mengangkat tangan dan
membalikkan tubuhnya saat seorang ikhwa lainnya terhimpit hutang yang tak mampu
lagi ia usahakan seorang diri.
Dan
mungkin ada pula seorang ikhwa yang membatalkan pernikahannya karena tak ingin
menikah dengan akhwat yang tak ‘sempurna’ lagi karena si akhwat tiba-tiba
terkena penyakit, tertimpa musibah atau ujian yang sangat berat hingga
mengurangi kualitas fisik si akhwat… dan setumpuk masalah lain yang dialami
saudara seiman, sepaham, dan semanhaj yang selalu kita hadiahi mahabbah palsu…
Tak
perlu kaget, tentu seseorang pernah mengalaminya, ternyata ia hanya korban mahabbah tak ikhlas kita. Betapa besar kekecewaan yang
kita berikan, teramat perih luka yang kita torehkan, Karena tak dapat realisasi
apa-apa dari kita yang katanya paham agama ini, ingin meringankan beban saudara
kita sekecil apapun, Cinta karena Allah, semua karena Allah… karena sikap yang
tak bertanggungjawab ini ternyata ada segumpal perih dalam hati saudara kita
tapi kita tak merasakan apa-apa, tak perlu meminta maaf, kecuali sebuah nasehat
kecil ‘sabar’.
Adakah
kita tengok kemana pelarian mereka dan pada siapa mereka mendapat mahabbah yang lain…?
Si
akhwat yang membutuhkan dana harus menjual sebagian pakaian dan jilbabnya
kesayangannya, tak luput referensi buku-buku syar’i tempat ia mendapat ilmu,
dan ‘sedikit’ tak malu mencari pinjaman dari orang-orang yang tak pernah
mengucapkan ‘cinta karena Allah’ padanya bahkan sangat menentang da’wahnya
sebagai juru da’wah.
Lain
pula cerita si ikhwa yang terlilit hutang, titik akhir dari usahanya ternyata
ia dapatkan dari ‘orang luar’ namun dengan syarat iman harus tergadaikan,
parahnya lagi bahkan harus rela menghentikan da’wahnya dan keluar dari
agamanya, barulah segala beban hutang dan yang lainnya akan diselesaikan dengan
mudahnya. Jadilah ia sasaran empuk pemurtadan.
Cerita
si ikhwa yang membatalkan pernikahannya dengan seorang akhwat pun tak kalah
miris. Karena tak ingin mendapat istri yang tak sempurna fisiknya karena sebuah
kecelakaan, ia rela meninggalkan akhwat ini dan mengatakan tak ingin punya
istri yang tak ‘sempurna’, sedangkan ia tahu pasti ini adalah musibah dan
takdir Allah. Bukankah kesempurnaan adalah milik Allah? Adakah yang
menginginkan musibah ini?
Saudariku,
kemana cinta yang selalu kita atas namakan Allah? Tak malukah kita menjual nama
Rabb kita? Hilangkah rasa itu karena kita tak mengalami dan tak merasakan beban
mereka? Adakah hidup kita terlalu sempurna hingga tak ingin melirik saudara
kita? Sempatkah terpikir apabila kita
berada diposisi mereka?
Ternyata
cinta kita hanya sebuah sejarah dan dongeng belaka. Cinta pada dunia,
keindahan, dan kenikmatan sesaatnya tetap kita prioritaskan. Sifat bakhil dan
kikir masih bersemi dalam jiwa diantara kobaran semangat berkorban untuk Islam
dan saudari kita. Rasa tak mau ambil pusing dengan beban saudara seaqidah dan
selalu merasa kurang dengan rezeki serta nikmat yang berlebih dari Allah masih
kita rawat.
Kecintaan
pada kesempurnaan fisik dan kenikmatan dunia yang hina ini mengesampingkan iman
dan keyakinan jika kita tak akan pernah mendapat kesempurnaan dari dunia ini,
kecuali sesaat lalu semu.. kita menukar semua itu dengan timbangan yang kosong
di hari kiamat.
Saudariku,
lalu dimana perginya ilmu dan keyakinan kita? Bukankah kita selama ini punya
tauladan dalam berda’wah, bersikap, berperilaku, dan berakhlak?
Telah
lupakah kita sirah-sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, shahabat dan
shahabiyah, serta orang-orang yang senantiasa mengikuti beliau?
Kisah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memberikan jubah merah kesukaannya
untuk seseorang hanya karena orang itu memuji keindahan jubahnya. Kerelaannya
memberi makan tetangganya sedangkan beliau dan keluarganya sendiri tak punya
makanan dirumahnya kecuali gandum kering dan air putih, kadangkala pula harus
mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar. Dan kisah beliau lainnya
yang membuat kita harus meneteskan air mata karena kedermawanan beliau.
Atau
sebuah kisah tiga orang sahabat yang saling berlomba meminjamkan uang
saudaranya yang sedang kesulitan dan tak ingin melihat saudaranya menderita.. Dan
kisah-kisah sahabat dan sahabiyah lainnya yang mencerminkan kezuhudan dan qona’ah
dalam kesehariannya demi mengharap pahala dan ganti dari Allah semata.
Mungkin
perlu pula kita tahu kisah nyata seorang lelaki awam yang memperoleh hidayah
karena menikahi akhwat sakit-sakitan, ujian yang tak pernah menjauh dari
dirinya, hingga ia harus meregang nyawa karena beban pikiran dan penyakit ganas
yang menimpanya… ketegaran dan kesabaran akhwat inilah yang menggerakkan hati
seorang laki-laki biasa rela mempersunting wanita yang dipandang oleh orang
lain tak bernilai apa-apa, tapi dalam pandangan lelaki ini ia adalah permata
dunia yang tak ternilai harganya, tak tergantikan dengan kesempurnaan fisik
yang dimilki wanita lainnya. Allah telah menumbuhkan kecintaan yang benar-benar
karena Allah, bukan untuk mendapat kesenangan dunia semata.
Sekarang
dimanakah segala cinta karena Allah yang selalu kita proklamasikan pada saudara
kita? Siapakah sebenarnya taulan kita selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya? Bukankah selama ini beliau dan para Salafusshaleh
adalah tauladan kita?
Ternyata
harusnya kita menunduk malu pada orang-orang diluar sana yang tak perlu buang
energi dan biaya untuk mengatakan “uhibbukifillah
ukhti,… uhibbukafillah akhi” namun
siap berkorban dengan ikhlas membantu dan menolong meski ia tak semanhaj,
sepaham, bahkan tak seaqidah dengan kita. Sedangkan kita sendiri hanya punya
modal seuntai kata manis diantara kata-kata yang keluar dari bibir dan senyum
pahit kita tanpa ingin membuka tangan lalu menawarkan sedikit kedermawanan
kita.
Tak
ada bentuk muhasabah terbaik dari semua sikap kita selain berusaha
mengamalkan Mahabbah ini dengan sebenar-benarnya. Memaknai rasa ini
dengan semestinya, adakah ia keluar dari hati ini dengan ikhlas tanpa ada unsur
lainnya apalagi hanya mementingkan diri sendiri atau mengikuti hawa nafsu yang
tak pernah puas.
Akhirnya,
yang perlu kita sadari dan takuti bahwa setiap perkataan yang keluar dari bibir
ini kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Tak ada sesuatu yang diciptakan
Allah akan sia-sia…
“Ya Allah
sesungguhnya kami memohon surga kepada-Mu serta perkataan dan perbuatan yang
mendekatkan kejalannya; dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta
perkataan dan perbuataan yang mendekatkan kejalannya…”.
Wassalam