Senin, 18 November 2013

Nasehat Syaikh Mustafa Al-Adawi Buat Para Istri

  • Apakah engkau rugi bila menemui suamimu dengan wajah berseri dan senyuman?!!
  • Apakah berat bila engkau mengusap debu di wajah, kepala dan pakaiannya, dan engkau menciumnya?!!
  •  Aku pikir tidaklah berat bila engkau tidak duduk sampai suamimu masuk dan duduk!! 
  • Tidaklah sukar bila engkau mengucapkan padanya ''Alhamdulilah atas keselamatanmu, kami telah rindu menanti kedatanganmu, selamat datang.''
  •  Berdandanlah untuk suamimu -dan lakukanlah hal ini karena mengharap pahala dari Allah- sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. 
  • Pakailah parfum, celak, dan baju yang terbaik untuk menyambut kedatangan suamimu.
  • Hindarilah olehmu kesedihan.
  • Janganlah engkau condong dan mendengar omongan orang yang mau merusak keutuhan rumah tanggamu.
  • Janganlah selalu gundah gulana, tetapi berlindunglah pada Allah dari perasaan gundah gulana, lemah kepribadian, dan malas.
  • Janganlah engkau merendahkan suaramu dihadapan laki-laki asing nanti ia akan berniat yang bukan-bukan terhadapmu.
  • Jadilah orang yang selalu lapang dada, berpikirlah jernih dan tenang, serta senantiasa mengingat Allah pada setiap masa.
  • Hiburlah suamimu sehingga meringankan kepenatan, sakit, musibah, dan kesedihan.
  • Anjurkan suamimu berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
  • Didiklah anak-anak dengan baik dan penuhilah rumahmu dengan tasbih tahmid, takbir, dan tahlil, serta perbanyaklah bacaan Al Qur'an, terutama surat Al Baqarah, karena ia dapat mengusir setan.
  • Lepaslah dari rumahmu gambar-gambar bernyawa, alat-alat musik dan permainan yang merusak.
  • Bangunkanlah suami untuk sholat malam
  • Berilah semangat untuk puasa sunnah
  • Ingatkanlah akan keutamaan infak, Dan jangan cegah suamimu dari silaturahmi
  • Perbanyaklah istighfar untuk dirimu, suamimu, orang tua, dan kaum muslimin.
  • Mohonlah kepada Allah tuk mendapatkan anak yang shalih,niat yang ikhlas dan kebaikan dunia serta akhirat.
    ketahuilah Rabbmu mendengar doamu dan mencintai orang-orang yang suka berdoa:
    ''Dan berkata Tuhanmu, berdoalah rnkepada-Ku niscaya Aku kabulkan.'' (Ghaafir:60)
==
dari: Romantika Pergaulan Suami Istri, Syaikh Musthofa al 'Adawi; rnkerjasama Media Hidayah dan Pustaka al-Haura; hal.213-215
"Seindah-indah perhiasan adalah wanita sholehah"

Rabu, 06 November 2013

Muhasabah hari ini...



Tak seorang pun sempurna.
Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah..

Bila kita mengisi hati kita dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,kita tak memiliki hari ini untuk kita syukuri.


Pikiran yang terbuka dan mulut yang tertutup, merupakan suatu kombinasi kebahagiaan.

Semakin banyak Anda berbicara tentang diri sendiri,
semakin banyak pula kemungkinan untuk Anda berbohong.
Jika Anda tidak bisa menjadi orang pandai, jadilah orang yang baik.


Iri hati yang ditunjukan kepada seseorang akan melukai diri sendiri.
Anda cuma bisa hidup sekali saja di dunia ini,
tetapi jika anda hidup dengan benar,
sekali saja sudah cukup.

SALAM UKHUWAH


BENARKAH CINTAKU KARENA ALLAH SEMATA...?






 Oleh : Eva Emelya Saidah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Sebuah pesan dikirim; “Ukhti, ana uhibbuki fillah…”. Ditempat yang lain tersimpan pula pesan seorang ikhwa kepada ikhwa yang lain; “ akhi, gimana kabarnya…? Semoga tetap semangat dalam da’wah.. uhibbukafillah..!”.

Sungguh terasa bahagia rasanya menerima pesan atau kata-kata ‘mahabbah’ dari seseorang, bahkan kita menyimpannya di draf karena terukir kata ‘uhibbu..’. Namun pernahkah kita menengok sejenak sejauh mana kualitas keikhlasan Mahabbah  ini. 

Sadarkah kita, mungkin ia hanya sebuah ungkapan terimakasih biasa, sekedar membalas pesan saja, atau hanya buah keisengan mengutak-ngatik HP, ingin tahu kabar seseorang yang sebenarnya tak begitu penting. Atau hanya sebuah trend dan tradisi dikalangan anak-anak Rohis dan aktifis Da’wah..??

Yah, ironis memang, namun itulah fenomena sebagian dari kita yang mengaku cinta seseorang karena Allah semata. Kata-kata memang kadang tak selalu sejalan dengan perbuatan atau amalan sehari-hari. Entah harus berdalih apa namun ada saja kita dapatkan pengingkaran dari rasa ini ketika ia membutuhkan realisasinya. Bahkan tak sedikit yang kecewa karena mahabbah  ini ternyata hanya sebuah ungkapan tak bernilai apa-apa.
Seorang akhwat harus bersabar saat ia menerima perlakuan dan ketidakperhatian dari saudarinya saat ia membutuhkan pertolongan pinjaman sedikit uang untuk sebuah kebutuhan mendadak. Sementara saudarinya mampu menolongnya.  Seorang ikhwa mengangkat tangan dan membalikkan tubuhnya saat seorang ikhwa lainnya terhimpit hutang yang tak mampu lagi ia usahakan seorang diri. 

Dan mungkin ada pula seorang ikhwa yang membatalkan pernikahannya karena tak ingin menikah dengan akhwat yang tak ‘sempurna’ lagi karena si akhwat tiba-tiba terkena penyakit, tertimpa musibah atau ujian yang sangat berat hingga mengurangi kualitas fisik si akhwat… dan setumpuk masalah lain yang dialami saudara seiman, sepaham, dan semanhaj yang selalu kita hadiahi mahabbah  palsu…

Tak perlu kaget, tentu seseorang pernah mengalaminya, ternyata ia hanya korban mahabbah  tak ikhlas kita. Betapa besar kekecewaan yang kita berikan, teramat perih luka yang kita torehkan, Karena tak dapat realisasi apa-apa dari kita yang katanya paham agama ini, ingin meringankan beban saudara kita sekecil apapun, Cinta karena Allah, semua karena Allah… karena sikap yang tak bertanggungjawab ini ternyata ada segumpal perih dalam hati saudara kita tapi kita tak merasakan apa-apa, tak perlu meminta maaf, kecuali sebuah nasehat kecil ‘sabar’.

Adakah kita tengok kemana pelarian mereka dan pada siapa mereka mendapat mahabbah yang lain…? 

Si akhwat yang membutuhkan dana harus menjual sebagian pakaian dan jilbabnya kesayangannya, tak luput referensi buku-buku syar’i tempat ia mendapat ilmu, dan ‘sedikit’ tak malu mencari pinjaman dari orang-orang yang tak pernah mengucapkan ‘cinta karena Allah’ padanya bahkan sangat menentang da’wahnya sebagai juru da’wah. 

Lain pula cerita si ikhwa yang terlilit hutang, titik akhir dari usahanya ternyata ia dapatkan dari ‘orang luar’ namun dengan syarat iman harus tergadaikan, parahnya lagi bahkan harus rela menghentikan da’wahnya dan keluar dari agamanya, barulah segala beban hutang dan yang lainnya akan diselesaikan dengan mudahnya. Jadilah ia sasaran empuk pemurtadan.

Cerita si ikhwa yang membatalkan pernikahannya dengan seorang akhwat pun tak kalah miris. Karena tak ingin mendapat istri yang tak sempurna fisiknya karena sebuah kecelakaan, ia rela meninggalkan akhwat ini dan mengatakan tak ingin punya istri yang tak ‘sempurna’, sedangkan ia tahu pasti ini adalah musibah dan takdir Allah. Bukankah kesempurnaan adalah milik Allah? Adakah yang menginginkan musibah ini?

Saudariku, kemana cinta yang selalu kita atas namakan Allah? Tak malukah kita menjual nama Rabb kita? Hilangkah rasa itu karena kita tak mengalami dan tak merasakan beban mereka? Adakah hidup kita terlalu sempurna hingga tak ingin melirik saudara kita? Sempatkah terpikir  apabila kita berada diposisi mereka?

Ternyata cinta kita hanya sebuah sejarah dan dongeng belaka. Cinta pada dunia, keindahan, dan kenikmatan sesaatnya tetap kita prioritaskan. Sifat bakhil dan kikir masih bersemi dalam jiwa diantara kobaran semangat berkorban untuk Islam dan saudari kita. Rasa tak mau ambil pusing dengan beban saudara seaqidah dan selalu merasa kurang dengan rezeki serta nikmat yang berlebih dari Allah masih kita rawat. 

Kecintaan pada kesempurnaan fisik dan kenikmatan dunia yang hina ini mengesampingkan iman dan keyakinan jika kita tak akan pernah mendapat kesempurnaan dari dunia ini, kecuali sesaat lalu semu.. kita menukar semua itu dengan timbangan yang kosong di hari kiamat.

Saudariku, lalu dimana perginya ilmu dan keyakinan kita? Bukankah kita selama ini punya tauladan dalam berda’wah, bersikap, berperilaku, dan berakhlak? 

Telah lupakah kita sirah-sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, shahabat dan shahabiyah, serta orang-orang yang senantiasa mengikuti beliau?
Kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memberikan jubah merah kesukaannya untuk seseorang hanya karena orang itu memuji keindahan jubahnya. Kerelaannya memberi makan tetangganya sedangkan beliau dan keluarganya sendiri tak punya makanan dirumahnya kecuali gandum kering dan air putih, kadangkala pula harus mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar. Dan kisah beliau lainnya yang membuat kita harus meneteskan air mata karena kedermawanan beliau.

Atau sebuah kisah tiga orang sahabat yang saling berlomba meminjamkan uang saudaranya yang sedang kesulitan dan tak ingin melihat saudaranya menderita.. Dan kisah-kisah sahabat dan sahabiyah lainnya yang mencerminkan kezuhudan dan qona’ah dalam kesehariannya demi mengharap pahala dan ganti dari Allah semata.

Mungkin perlu pula kita tahu kisah nyata seorang lelaki awam yang memperoleh hidayah karena menikahi akhwat sakit-sakitan, ujian yang tak pernah menjauh dari dirinya, hingga ia harus meregang nyawa karena beban pikiran dan penyakit ganas yang menimpanya… ketegaran dan kesabaran akhwat inilah yang menggerakkan hati seorang laki-laki biasa rela mempersunting wanita yang dipandang oleh orang lain tak bernilai apa-apa, tapi dalam pandangan lelaki ini ia adalah permata dunia yang tak ternilai harganya, tak tergantikan dengan kesempurnaan fisik yang dimilki wanita lainnya. Allah telah menumbuhkan kecintaan yang benar-benar karena Allah, bukan untuk mendapat kesenangan dunia semata.

Sekarang dimanakah segala cinta karena Allah yang selalu kita proklamasikan pada saudara kita? Siapakah sebenarnya taulan kita selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya? Bukankah selama ini beliau dan para Salafusshaleh adalah tauladan kita? 

Ternyata harusnya kita menunduk malu pada orang-orang diluar sana yang tak perlu buang energi dan biaya untuk mengatakan “uhibbukifillah ukhti,… uhibbukafillah akhi”  namun siap berkorban dengan ikhlas membantu dan menolong meski ia tak semanhaj, sepaham, bahkan tak seaqidah dengan kita. Sedangkan kita sendiri hanya punya modal seuntai kata manis diantara kata-kata yang keluar dari bibir dan senyum pahit kita tanpa ingin membuka tangan lalu menawarkan sedikit kedermawanan kita.

Tak ada bentuk muhasabah  terbaik dari semua sikap kita selain berusaha mengamalkan Mahabbah  ini dengan sebenar-benarnya. Memaknai rasa ini dengan semestinya, adakah ia keluar dari hati ini dengan ikhlas tanpa ada unsur lainnya apalagi hanya mementingkan diri sendiri atau mengikuti hawa nafsu yang tak pernah puas.

Akhirnya, yang perlu kita sadari dan takuti bahwa setiap perkataan yang keluar dari bibir ini kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Tak ada sesuatu yang diciptakan Allah akan sia-sia…
“Ya Allah sesungguhnya kami memohon surga kepada-Mu serta perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kejalannya; dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan perbuataan yang mendekatkan kejalannya…”.

Wassalam