Sabtu, 15 Desember 2012

MATERI KONVENSI WINA, TAX TREATY


1.     Perjanjian Internasional (Konvensi Wina)

Bila bertitik tolak pada pendapat para ahli mengenai pengertian perjanjian internasional, kita menemukan keanekaragaman pengertian. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena para ahli tersebut mendefinisikan perjanjian internasional berdasarkan sudut pandang masing-masing.

Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional, antara lain:

a. Pengertian yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja, SH, yaitu :
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.

b. Pengertian yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger yaitu:
“Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.

c. Pengertian yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht yaitu:
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.

d. Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu:
“perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.

Berdasarkan 4 pengertian diatas, terdapat sedikit perbedaan namun pada prinsipnya mengandung dan memiliki tujuan yang sama.

Berkenaan dengan hal diatas tersebut, maka setiap bangsa dan Negara yang ikut dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya.

Karena hal tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt servanda.Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.

2.     Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)
Adalah perjanjian pajak antar dua negara dalam upaya menghindari pajak berganda. Hal-hal yang ada didalamnya meliputi negara mana saja yang menjadi peserta dan terikat dalamperjanjian tersebut dan objek pajak apa yang tercakup dalam perjanjian tersebut.

3.     National External Tax Law (Auszensteuerrecht)
Merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat mengenai peraturan perpajakan yang mempunyai daya kerja sampai di batas luar negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun terhadap subjeknya (subjek ada di luar negeri).

4.     Foreign Tax Law (Auslandisches Steuerrecht)
Adalah mencakup keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. Foreign tax law berguna sebagai bahan perbandingan dalam melakukan comparative tax law study ketika akan melakukan perjanjian perpajakan dengan negara lain.

5.     International Tax Law
Dalam arti sempit diartikan bahwa hukum pajak internasional merupakan keseluruhan kaedah pajak berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dll yang semata-mata berdasarkan sumber-sumber asing. Sedangkan dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat, konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima negara-negara dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang objeknya adalah pengenaan pajak yang mengandung adanya unsur-unsur asing, yang dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau lebih.

CATATAN MASALAH PERPAJAKAN

MENGENAL SANKSI PAJAK
Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka  pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.
Ada 2 macam Sanksi perpajakan,
1.   Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a.   Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari     jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk mengetahui lebih laniut, dalam tabel 1 dimuat hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa denda, bentuk pengenaan denda, dan besarnya denda.
 b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian. Untuk mengetahui lebih ielas mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi bunga dan penghitungan besarnya bunga dalam pajak, pembaca dapat melihat dalam tabel 2
 
c.   Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang. Untuk lebih jelasnya, hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi berupa kenaikan dan besarnya kenaikan dapat dilihat dalam tabel 3.
 
2.   Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada. Hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi pidana dan bentuk sanksinya dapat juga dilihat pada tabel 1.
          Sumber : Indonesian Tax Review

Jumat, 30 November 2012

INDONESIA DENGAN SISTEM PERPAJAKANNYA


Oleh: Eva Emelya Saidah

Sejak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983 yang merupakan awal dimulainya reformasi perpajakan Indonesia menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), Indonesia telah mengganti sistem pemungutan pajaknya pula dari sistem official-assessment menjadi sistem self-assessment yang masih diterapkan sampai dengan sekarang. Sistem Self-assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Self Assesment System antara lain :
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada WP sendiri
2. Wajib Pajak Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
Sebaliknya pada sistem official-assessment besarnya pajak yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh Fiskus (aparat pajak). Kriteria dari Official Assesment system adalah :
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Perbedaannya kedua sistem ini terletak pada pemegang tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang. Jika dalam sistem official-assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak yang harus dibayar. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem pemungutan pajaknya menjadi sistem self-assessment dimana penetapan besarnya jumlah pajak yang seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu sendiri pula. Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya.
Fiskus dalam sistem self-assessment hanya bertugas mengawasi pelaksanaannya saja yaitu dengan melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. System self assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Hal ini akan berhasil apabila memenuhi beberapa syarat yang diharapkan ada dalam diri Wajib Pajak yaitu:
1. Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
2. Kejujuran Wajib Pajak
3. Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
4. Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.
Dalam system ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk melakukan self assessment memberikan konsekuaensi yang berat bagi Wajib Pajak, artinya jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan akan lebih berat. Oleh karena itu system self assessment mewajibkan wajib pajak untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu dan usaha serta biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Selain itu self assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak system ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas pemerintahan lainnya. Selain itu system self assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas system perpajakan yang berlaku terhadapnya.
Selama pelaksanaan sistem self-assessment dimulai sejak pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah empat kali UU KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir 2007. Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya. Sering kali mereka dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (DJP) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.
Dikarenakan Indonesia menganut sistem self-assessment, hal ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Namun, tindakan Wajib Pajak tersebut kurang effektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan DJP dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari DJP, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalah-pahaman antara WP dengan Fiskus.
Di dalam melaksanakan sistem self-assessment, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan (law enforcement). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan. Penyuluhan perpajakan perlu dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan sistem self-assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem self-assessment kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pelayanan di bidang perpajakan dilakukan untuk memberikan kenyamanan, keamanan dan kepastian bagi Wajib Pajak di dalam pemenuhan kewajiban dan haknya di bidang perpajakan.
Sistem self assessment bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Namun system ini juga membuka adanya kemungkinan penyimpangan dari Wajib Pajak untuk tidak melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Direktorat Jendral pajak sebagai instansi yang diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan dalam rangka mengawasi dan menjaga penerimaan pajak wajib untuk melakukan berbagai tindakan agar system self assessment berjalan dengan baik.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan system self assessment, Dirjen Pajak melakukan dua fungsi utama :
1. Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk meyakinkan sistem self-assessment dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan pengawasan (Law enforcement) dalam pelaksanaannya. Peran pengawasan ini dilakukan oleh Fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit) dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir berupa penagihan pajak (tax collection).
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam self-assessment system ada ketentuan bahwa pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan . Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental.
Hampir serupa dengan tujuan pemeriksaan pajak, penyidikan pajak dilakukan sebagai salah satu upaya DJP untuk menindak WP yang telah melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila WP melakukan hal-hal seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penyidikan untuk mencari dan mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah dilakukan WP.
Terakhir, penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh WP dengan perhitungan menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Sejauh ini pelaksanaan sistem self-assessment masih dipertahankan sesuai dengan yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 tahun 2007. Perubahan undang-undang yang terakhir ini sudah lebih banyak menunjukkan perkembangannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fasilitas pelayanan pun sudah ditingkatkan dengan adanya modernisasi di kantor-kantor pelayanan pajak sehingga lebih memudahkan akses WP untuk mencari informasi perpajakan terkini, dan WP yang memilki mobilitas tinggi.
Untuk menilai kinerja sistem pemungutan pajak ini, diperlukan beberapa alat ukur, menurut penelitian Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, diantaranya :
1. Penerimaan pajak
2. Tax ratio (tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio)
3. Jumlah pertambahan Wajib Pajak
4. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak (voluntary compliance)
Dari hasil penelitian tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa kinerja sistem self-assessment kita masih belum optimal. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak diantaranya yaitu tax amnesty dan SIN (Single Identification Number) yang sedang dikembangkan oleh Dirjen Pajak. Pemberian tax amnesty baru terealisasi dalam bentuk Sunset Policy (soft amnesty) yaitu menghapuskan seluruh atau sebagian sanksi administrasi Wajib Pajak yang diberlakukan untuk periode satu tahun (berakhir pada tanggal 31 Des 2008).
Dirjen pajak juga telah mereformasi undang-undang Pajak Penghasilan yang diberlakukan mulai 1 Januari 2009, dimana tarif dasar penghitungan pajak hanya ada satu lapis (single rate tax) untuk WP Badan dan PTKP lebih tinggi untuk WP Orang Pribadi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah Wajib Pajak memperhitungkan pajak terutangnya dalam rangka mendukung sistem self-assessment.












Daftar Pustaka


Gunawan Setiyaji, Hidayat Amin,2005,Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia,Jurnal Ekonomi Universitas Indonusa Esa Unggul,Jakarta.
John Hutagaol,2007,Perpajakan:Isu-isu Kontemporer ,Graha Ilmu,Yogyakarta.
Syofrin Syofyan, Asyhar Hidayat,2004,Hukum Pajak dan Permasalahannya, PT.Refika Aditama, Bandung.

Anonym. 2012. Problematika Sistem Perpajakan di Indonesia. http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/07/16/problematika-penerapan-sistem-perpajakan-indonesia/ (25/11/2012)



Fungsi-Fungsi Bumbu Dapur Dasar


 


Bumbu Dapur Dasar:

BAWANG PUTIH, beraroma tajam. Memarkan atau cincang halus untuk tumisan. Cara praktis, memarkan dengan kulitnya agar mudah dikupas. Jangan goreng sampai kecoklatan karena akan pahit.

BAWANG MERAH, aroma dan rasanya kuat. Pilih yang padat dan kering. Simpan di tempat terbuka dan kering agar lebih awet.

BAWANG BOMBAY, memperkaya hidangan tumisan. Kupas sedekat mungkin dengan waktu memasak agar aromanya tidak hilang. Jika sudah dipakai sebagian, bungkus sisanya dan simpan di dalam kulkas.

ASAM JAWA, tumbuh di pulau Jawa dan Madura, berasal dari buah asam yang tua, daging buah berwarna cokelat muda. Makin lama disimpan, warnanya makin kehitaman. Gunakan secukupnya, rendam dalam air hangat dan peras sebelum dicampur dalam masakan.

CABE MERAH, tidak terlalu pedas serta mengandung setikit biji dan banyak air. Cocok untuk membuat masakan berwarna merah dengan cita rasa yang tidak terlalu pedas.

CABE RAWIT, rasanya pedas menyengat. Yang muda berwarna hijau digunakan untuk campuran acar atau sebagai pelengkap snack / gorengan. Semakin tua, memerah dan makin pedas.

CENGKIH, memberi cita rasa khas pada setup buah2an, gule dan kue. Mengurangi bau amis dan anyir pada masakan.

DAUN BAWANG / PREI, memberi aroma bawang yang segar pada tumisan dan sup. Yang kecil lebih sedap. Biasanya yang dipakai bagian putih sampai hijau muda. Bagian hijau tua berlendir.

DAUN JERUK, memberi aroma segar dan harum pada masakan. Buang tulang daunnya, cabik-cabik atau iris halus sebelum dimasukkan dalam masakan.

DAUN SALAM, memberi aroma harum pada masakan. Dapat digunakan untuk segala masakan.

JAHE, memberi rasa pedas panas dan menghilangkan bau amis pada masakan. Pilih yang berwarna tua. Dapat digunakan dalam keadaan segar, kering atau bubuk.

KAYU MANIS, merupakan kulit dari batang bagian dalam pohon kayu manis. Pilih yang berwarna cokelat muda dan halus dengan aroma manis. Digunakan utuh atau dihaluskan. Banyak dipakai sebagai taburan dessert atau bumbu masakan timur tengah.

KENCUR, memberi aroma segar dan rasa khas pada urap, pecel, lodeh dsb.Gunakan sedikit saja.

KUNCI, memberi rasa khas pada sayur bayam. Juga berguna untuk mengurangi bau amis pada masakan.

KUNYIT, memberi warna kuning pada nasi kuning, gulai dan kare. Juga mengurangi bau amis ikan laut. Bakar dahulu beserta kulitnya sebelum digunakan agar masakan lebih sedap.

LENGKUAS, memberi aroma harum pada hidangan tumis atau bersantan. Kupas dan memarkan sebelum digunakan.

SERAI, selain sebagai penyedap makanan, juga memberi rasa harum pada minuman panas. Memarkan atau iris bagian putihnya.

LADA, membuat rasa pedas.

Sumber: Yahoo.
>>ada ummahat wa akhowat yang mw nambahin..? Dipersilakan..^^