Oleh: Eva Emelya Saidah
Sejak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan pada tahun 1983 yang merupakan awal dimulainya reformasi perpajakan
Indonesia menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda
(misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), Indonesia telah
mengganti sistem pemungutan pajaknya pula dari sistem official-assessment
menjadi sistem self-assessment yang masih diterapkan sampai dengan sekarang.
Sistem Self-assessment merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan
kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Self
Assesment System antara lain :
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada WP sendiri
2. Wajib Pajak Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada WP sendiri
2. Wajib Pajak Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi
Sebaliknya pada sistem official-assessment besarnya pajak
yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh Fiskus (aparat pajak).
Kriteria dari Official Assesment system adalah :
1.
Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Wajib Pajak bersifat pasif
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Perbedaannya kedua sistem ini terletak pada pemegang
tanggung jawab (siapa) yang menetapkan besarnya pajak yang seharusnya terutang.
Jika dalam sistem official-assessment penetapan besarnya jumlah pajak Wajib
Pajak menjadi tanggung jawab Fiskus, sehingga segala resiko pajak yang akan
timbul menjadi tanggung jawab Fiskus, misalnya terlambat membayar atau melapor
dikarenakan keterlambatan Fiskus menetapkan besarnya jumlah pajak terutang
Wajib Pajak yang harus dibayar. Keterlambatan ini bisa saja dikarenakan
terbatasnya petugas pajak untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak, yang nota bene tidak sedikit jumlahnya.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem
pemungutan pajaknya menjadi sistem self-assessment dimana penetapan besarnya
jumlah pajak yang seharusnya terutang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak itu
sendiri, sehingga segala resiko pajak yang timbul menjadi tanggung jawab Wajib
Pajak itu sendiri pula. Di sini terlihat adanya pergeseran tanggung jawab dari
Fiskus kepada Wajib Pajak, yang tanpa disadari Wajib Pajak bahwa hal ini akan
menjadi beban berat dalam melaksanakan kewajban perpajakannya.
Fiskus dalam sistem self-assessment hanya bertugas mengawasi
pelaksanaannya saja yaitu dengan melakukan pemeriksaan atas kepatuhan Wajib
Pajak terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. System
self assessment yang kini dianut Indonesia memberikan kebebasan dan tanggung
jawab yang besar kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Hal
ini akan berhasil apabila memenuhi beberapa syarat yang diharapkan ada dalam
diri Wajib Pajak yaitu:
1. Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
2. Kejujuran Wajib Pajak
3. Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
4. Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.
1. Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness)
2. Kejujuran Wajib Pajak
3. Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
4. Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.
Dalam system ini terdapat pemberian kepercayaan sepenuhnya
kepada Wajib Pajak untuk melakukan self assessment memberikan konsekuaensi yang
berat bagi Wajib Pajak, artinya jika Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban Perpajakan yang dipikul kepadanya, sanksi yang dijatuhkan
akan lebih berat. Oleh karena itu system self assessment mewajibkan wajib pajak
untuk lebih mendalami peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku agar
Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik.
Sistem ini juga dapat memberikan biaya tambahan (dalam arti
luas) bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak akan mengorbankan lebih banyak waktu
dan usaha serta biaya untuk membayar jasa konsultan pajak. Selain itu self
assessment menunjukkan proporsi yang lebih kecil dari yang telah ditetapkan
sebelumnya, sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada, jumlah pajak yang
dianggarkan akan menurun pula.
Di lain pihak system ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu
dapat meningkatkan produktifitas dan murah. Pemerintah tidak lagi dibebankan
kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib Pajak dan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan
pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan
biaya sehubungan dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk
melakukan aktivitas pemerintahan lainnya. Selain itu system self assessment akan
mendorong Wajib Pajak untuk memahami dengan baik atas system perpajakan yang
berlaku terhadapnya.
Selama pelaksanaan sistem self-assessment dimulai sejak
pertama kali reformasi perpajakan dilakukan hingga saat ini (1983-2009), sudah
empat kali UU KUP diubah yaitu tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir 2007.
Perubahan yang dilakukan secara komprehensif ini membawa dampak bagi
pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan
yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung/memperhitungkan,
membayar dan melaporkan pajaknya. Sering kali mereka dihadapkan dengan
keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang
akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (DJP) karena tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat itu.
Dikarenakan Indonesia menganut sistem self-assessment, hal
ini memaksa Wajib Pajak untuk selalu aktif mencari informasi-informasi
perpajakan yang terbaru, terutama yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Namun,
tindakan Wajib Pajak tersebut kurang effektif jika tidak dibarengi dengan
kebijakan DJP dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan
kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua Wajib Pajak
mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari DJP, sehingga dapat
mencegah timbulnya kesalah-pahaman antara WP dengan Fiskus.
Di dalam melaksanakan sistem self-assessment, pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijakan seperti memberikan penyuluhan perpajakan (tax
dissessmination), pelayanan perpajakan (tax service), dan pengawasan perpajakan
(law enforcement). Hal tersebut harus dapat dilaksanakan secara optimal agar
tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya dan haknya di bidang perpajakan. Penyuluhan perpajakan
perlu dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan
sistem self-assessment ini, karena tidak satu pasal pun dalam undang-undang
perpajakan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem self-assessment
kecuali di dalam penjelasan atas undang-undang R.I No.6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pelayanan di bidang perpajakan dilakukan untuk memberikan
kenyamanan, keamanan dan kepastian bagi Wajib Pajak di dalam pemenuhan
kewajiban dan haknya di bidang perpajakan.
Sistem self assessment bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat dalam membayar pajak. Namun system ini juga membuka adanya
kemungkinan penyimpangan dari Wajib Pajak untuk tidak melaporkan kewajiban
perpajakannya dengan benar. Direktorat Jendral pajak sebagai instansi yang
diberi wewenang untuk menerapkan kebijakan dalam rangka mengawasi dan menjaga
penerimaan pajak wajib untuk melakukan berbagai tindakan agar system self
assessment berjalan dengan baik.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan berdasarkan system self assessment, Dirjen Pajak melakukan
dua fungsi utama :
1. Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
1. Fungsi pemeriksaaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan unuk meneliti dan mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Untuk meyakinkan sistem self-assessment dilaksanakan dengan
baik, perlu dilakukan pengawasan (Law enforcement) dalam pelaksanaannya. Peran
pengawasan ini dilakukan oleh Fiskus dalam bentuk pemeriksaan (tax audit)
dengan maksud menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya, kemudian penyidikan pajak (tax investigation) dan terakhir
berupa penagihan pajak (tax collection).
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang
diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam
self-assessment system ada ketentuan bahwa pelaporan WP dalam Surat
Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan
terjadinya kesalahan . Pembuktian tersebut dilakukan melalui serangkaian
kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Pada prinsipnya pemeriksaan merupakan
kegiatan mengumpulkan bukti/bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat
Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali
pemeriksaan tersebut merupakan kegiatan rutin yang bukan insidental.
Hampir serupa dengan tujuan pemeriksaan pajak, penyidikan
pajak dilakukan sebagai salah satu upaya DJP untuk menindak WP yang telah
melakukan tindakan pidana dalam bidang perpajakan. Menurut undang-undang
perpajakan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan
terjadinya tindakan pidana dalam perpajakan apabila WP melakukan hal-hal
seperti alpa, sengaja, percobaan dan pengulangan dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan penyidikan untuk
mencari dan mengumpilkan bukti serta memperjelas tindak pidana pajak yang telah
dilakukan WP.
Terakhir, penagihan pajak dilakukan apabila terdapat selisih
perhitungan pajak terutang dalam SPT yang dilaporkan oleh WP dengan perhitungan
menurut Fiskus sehingga timbul pajak terutang kurang bayar. Oleh karena itu,
DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) untuk Wajib
Pajak yang bersangkutan. Penagihan pajak juga dilakukan atas sanksi admnistrasi
pajak berupa bunga dan denda yang timbul akibat kelalaian Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang belum dilunasi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Sejauh ini pelaksanaan sistem self-assessment masih
dipertahankan sesuai dengan yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 tahun 2007. Perubahan
undang-undang yang terakhir ini sudah lebih banyak menunjukkan perkembangannya
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fasilitas pelayanan pun sudah ditingkatkan
dengan adanya modernisasi di kantor-kantor pelayanan pajak sehingga lebih
memudahkan akses WP untuk mencari informasi perpajakan terkini, dan WP yang
memilki mobilitas tinggi.
Untuk
menilai kinerja sistem pemungutan pajak ini, diperlukan beberapa alat ukur,
menurut penelitian Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir, diantaranya :
1. Penerimaan pajak
2. Tax ratio (tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio)
3. Jumlah pertambahan Wajib Pajak
4. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak (voluntary compliance)
1. Penerimaan pajak
2. Tax ratio (tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio)
3. Jumlah pertambahan Wajib Pajak
4. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak (voluntary compliance)
Dari hasil penelitian tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa
kinerja sistem self-assessment kita masih belum optimal. Oleh karena itu
diperlukan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak
diantaranya yaitu tax amnesty dan SIN (Single Identification Number) yang
sedang dikembangkan oleh Dirjen Pajak. Pemberian tax amnesty baru terealisasi
dalam bentuk Sunset Policy (soft amnesty) yaitu menghapuskan seluruh atau
sebagian sanksi administrasi Wajib Pajak yang diberlakukan untuk periode satu
tahun (berakhir pada tanggal 31 Des 2008).
Dirjen pajak juga telah mereformasi undang-undang Pajak Penghasilan
yang diberlakukan mulai 1 Januari 2009, dimana tarif dasar penghitungan pajak
hanya ada satu lapis (single rate tax) untuk WP Badan dan PTKP lebih tinggi
untuk WP Orang Pribadi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah Wajib Pajak
memperhitungkan pajak terutangnya dalam rangka mendukung sistem
self-assessment.
Daftar
Pustaka
Gunawan Setiyaji, Hidayat Amin,2005,Evaluasi Kinerja Sistem
Perpajakan Indonesia,Jurnal Ekonomi Universitas Indonusa Esa
Unggul,Jakarta.
John Hutagaol,2007,Perpajakan:Isu-isu Kontemporer ,Graha
Ilmu,Yogyakarta.
Syofrin Syofyan, Asyhar Hidayat,2004,Hukum Pajak dan
Permasalahannya, PT.Refika Aditama, Bandung.
Anonym.2012.Masalah Perpajakan. https://www.google.co.id/search?q=masalah+perpajakan+terkini&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a
(25/11/2012)
Anonym.
2012. Problematika Sistem Perpajakan di Indonesia. http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/07/16/problematika-penerapan-sistem-perpajakan-indonesia/ (25/11/2012)
Anonym. 2012. Kumpulan Makalah Pajak.http://pratamaindomitra.co.id/kumpulan-artikel-makalah-dan-ebook-pajak-segera-dibagikan.html(25/11/2012)
Anonym.2012.Citra Anggreini.Fenomena Pajak di Indonesia.
http://citraanggreini.blogspot.com/2010/02/fenomena-pajak-di-indonesia-saat-ini.html
(25/11/2012)
Anonym.2012.Indonesia dan Sistem Perpajakannya.
https://www.google.co.id/search?q=indonesia+dan+sistem+perpajakannya&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a#q=indonesia+dan+sistem+perpajakannya&hl=id&client=firefox-a&tbo=d&rls=org.mozilla:id:official&ei=Ut-xULCQGcq3rAfJ64GgCw&start=150&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=664b81dc7c3b6f84&bpcl=38897761&biw=1024&bih=430
(25/11/2012)